Terbaru.co.id — Asas legalitas adalah hal yang sangat penting dalam dunia hukum, terutama sekali dalam hal tindak pidana. Legalitas kemudian menjadi asas yang penting karena jika hukum diterapkan tanpa melihat asas legalitas, maka yang terjadi adalah benturan-benturan antara hukum dan hak asasi manusia.
Memang legalitas adalah bahasa hukum, dan kadang telinga kita merasa tidak akrab karena perlu ‘kekuatan’ khusus dalam memahami dan memaknai bahasa hukum. Maka disini perlu diadakan penyederhanaan definisi apa sebenarnya yang disebut dengan legalitas itu. Legalitas adalah sebuah aturan hukum yang tertulis dalam bentuk undang-undang yang akan mengatur pelaku pelanggaran hukum setelah adanya legalitas tersebut. Jadi, legalitas sejatinya hanya bisa memperkarakan tindak pidana setelah legalitas itu sendiri ada, bukan tindak pidana sebelum legalitas hukum itu ada.
Jika kemudian pelaku tindak pidana dihukum sementara saat ia melakukannya belum ada aturan hukum atau legalitas yang berlaku, maka hal ini kemudian dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Maka, sekali lagi, legalitas dalam dunia hukum itu sangatlah penting bahkan menjadi landasan atas dasar acuan di mana pelaku tidak pidana bisa dijerat sesuai dengan kesalahannya. Seperti itulah gambaran sederhana dalam memahami legalitas dalam dunia hukum.
Lantas apakah legalitas hukum seperti ini sudah ada dan menjadi pembahasan tersendiri pada masyarata jaman dulu? Nampak tak ada salahnya jika kita merujuk kembali sejarah perkembangan legalitas dalam hiruk pikuk dunia hukum pada abad-abad yang telah lama berselang dari hari ini.
Asas Legalitas – Legalitas pada Masa Lampau
Membicarakan hukum atau bidang apa sajalah, rasanya kita tidak akan pernah lepas dari jaman Romawi kuno yang sangat identik dengan bahasa latinnya. Terkait dengan asas legalitas dalam dunia hukum, ternyata bangsa Romawi kuno tidaklah mengenal apa yang dinamakan dengan legalitas. Ya, sekali lagi, mereka tidak mengenal aturan-aturan tertulis semacam yang ada saat ini. Pada masa itu, setiap kejahatan yang ada tidak pernah diatur secara tertulis dalam bentuk undang-undang sehingga istilah criminal extra ordinaria, atau ‘kejahatan tak tertulis dalam undang-undang’ sangatlah biasa berlaku pada masa itu.
Perilaku jahat dan durjana masuk dalam criminal extra ordinaria ini lalu namanya kemudian disebut-sebut sebagai crimina stellionatus atau tindak kejahatan atau kriminal. Jika kemudian merujuk lebih belakang lagi, sejak kapan kemudian criminal extra ordinaria ini berlaku, nampaknya sangat sedikit sekali literatur yang membahas hal itu. Hanya saja, tindakan ini sudah biasa dilakukan karena memang adalah bentuk kebijakan raja yang diadopsi dari raja-raja berkuasa sebelumnya. Semacam kesepakan atau kebiasaan bersama yang berlaku dan tak perlu untuk dituliskan lewat diskusi bersama yang melelahkan dan membuang-buang waktu.
Nah, oleh karena kebijakan penindakan hukum dilakukan atas hak kuasa seorang raja semata, maka sangat lebar sekali peluang penyelewengannya untuk diterapkan dengan cara yang sewenang-wenang sesuai dengan kehendak sang raja. Meski kita tidak pernah melihatnya langsung, tetapi sejarah dalam buku atau film telah menggambarkan bahwa raja punya kuasa penuh untuk mengadili seseorang yang baginya melanggar hukum tatanan yang ada, meski pun tanpa persidangan dan kejelasan kesalahan apa saja yang bisa menjadikan seseorang dijebloskan ke dalam penjara atau diseret ke tiang gantungan.
Maka sekali lagi legalitas hukum itu sangat penting, sampai kapan pun. Mengingat ternyata pelanggaran hukum juga kerap kali dilakukan pada masyarakat yang cukup modern, di mana kita mendengar pembantai-pembantaian massal yang dilakukan pada masa pemerintahan diktator semisal era berkibarnya bendera Nazi di Jerman. Juga kasus-kasus lainnya yang pengeksesiannya sungguh tidak berlandaskan pada asas legalitas hukum yang ada, dan ini adalah pelanggaran hak asasi manusia.
Nah, jika ditarik pada masa saat ini, jelas apa yang dilakukan oleh para raja tersebut melanggar dan bisa dikenai sanksi hukum tersendiri karena telah semena-mena memutuskan hukum tanpa adanya legalitas. Intinya, bila suatu tindakan yang dinilai memiliki syarat pelanggaran hukum dan memenuhi unsur delik yang memang dilarang dalam kitab hukum, tapi dilakukan sebelum berlakunya undang-undang tersebut, maka hal itu bukan hanya tidak bisa dituntut di persidangan tetapi sang penghukum saat itu bisa dimintai pertanggungjawaban atas keputusannya.
Jadi, dalam dunia hukum harus ada hal yang menentukan bahwa sebuah tindakan tersebut dapat dipidana sesuai dengan aturan undang-undang yang berlaku. Dan yang bisa dipidanakan adalah mereka yang melanggar hukum saat aturan itu sudah dibuat. Nah, norma inilah yang kemudian disebut sebagai asas legalitas dalam dunia hukum atau dalam bahasa kerennya disebut dengan Principle of Legality. Semoga bisa memberi sedikit memberi gambaran. Lantas bagaimana dengan legalitas hukum di Indonesia?
Asas Legalitas Hukum di Indonesia
Indonesia adalah negara yang juga tak lepas dari problematika dalam hal penerapan legalitas hukum. Kerap kali terjadi ketentuan peraturan perundang-undangan di negara ini, yang merumuskan tindak pidana diberlakukan secara retroaktif atau surut. Padahal pemberlakukan semacam itu adalah tindakan kesewenang-wenangan dan sekali lagi berarti pelanggaran hak asasi pada diri manusia yang cukup fatal.
Penyimpangan-penyimpangan asas legalitas tetap saja terjadi dan selalu bermuara pada kepentingan-kepentingan serta tidak lengkapnya peraturan undang-undang yang mengatur hingga menjadikan analogi sebagai acuan. Ini bahaya sekali bagi masa depan hukum di Indonesia tentu. Adalah kasus bom Bali, kasus Pelanggaran HAM di Timor-Timur, dan Tanjung Priok adalah deretan daftar kasus yang sangat diduga telah dilakukan asas legalitas yang sudah disimpangkan dengan semena-mena atau berlakunya asas retroaktif tadi.
Namun, perlu diketahui, bahwa dalam hukum pidana Indonesia, asas legalitas ini diatur dengan jelas dan seksama di dalam KUHP. Dan hingga hari ini asas legalitas ini masih tetap berlaku hingga hari ini maupun dalam Rancangan KUHP (RKUHP) selanjutnya. Lihat saja bagaimana kemudian Pasal 1 ayat (1) KUHP yang telah menyatakan bahwa tidak ada suatu perbuatan pun dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang memang telah ada, sebelum perbuatan itu dilakukan.
Bunyi pasal ini, sejatinya sudah sangat menjelaskan secara rinci, dan isinya menyimpan dua hal utama, yakni, pertama, suatu tindak pidana harus dirumuskan terlebih dahulu dalam peraturan perundang-undangan dan kedua, peraturan perundang-undangan harus ada sebelum terjadinya tindak pidana itu sendiri atau tidak boleh berlaku surut. Itu sudah jelas dalam kitab undang-undang hukum pidana. Sekali lagi, legalitas menghendaki perbuatan dapat dinyatakan tindak pidana jika lebih dahulu ada undang-undang yang menyatakan perbuatan tersebut memang sebagai tindak pidana.
Maka dalam beberapa kasus terjadinya penyurutan pasal legalitas, maka pasal 1 ayat (1) KUHP inilah yang menjadi landasan dan arah patokan penegakan hukum pidana di Indonesia. Selain itu, ada pasal lain yang memperkuat masalah legalitas ini. Itu bisa dilihat dalam Pasal 6 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Di sana disebutkan bahwa tidak seorang pun dapat dihadapkan di depan pengadilan selain daripada yang ditentukan oleh undang-undang yang berlaku. Maka jelas sudah bahwa bunyi pasal ini sejatinya memperkokoh keberadaan asas legalitas.
Lantas kenapa masih saja kerap terjadi pelanggaran yang terkait dengan masalah legalitas hukum pidana di Indonesia ini? Jawabannya adalah, karena hukum di Indonesia sudah tidak relevan lagi dan perlu revisi yang sangat serius mengingat konsep hukum pidana masih mengacu pada warisan Belanda.
Nah, semoga artikel tentang masalah legalitas ini bisa menjawab kehausan wawasan Anda.